Iklan Beranda

Redaksi JTV
Jumat, 02 Juni 2023, 10:08 WIB
Last Updated 2023-08-10T08:25:23Z
Gaspol LekOpiniPolitik | PemerintahanViewerViral

Pemilih Pemula Sebagai Ujung Tombak Indonesia Emas 2045


Oleh: Abdul Mundlir*

JTVBojonegoro.com - Perhelatan Pemilihan Umum 2024 sudah di depan mata. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merilis pada Pemilu 2024 nanti, jumlah pemilih muda (usia 17-40) mencapai 60% atau 110 juta dari total jumlah pemilih. Sementara jumlah pemilih muda di usia 17-24 tahun mencapai 23,2 juta (Media Indonesia, 2023).

Maka bila kita telaah lagi, usia 17-24 tahun merupakan usia emas ketika usia kemerdekaan Indonesia mencapai satu abad pada tahun 2045 mendatang. Artinya mereka yang berusia 17-24 tahun saat ini akan menjadi tulang punggung atau kelompok yang mengisi jabatan-jabatan strategis di struktur kenegaraan ke depan.

Nurgiansah dalam Bety (2022) memprediksi tahun 2045 jumlah penduduk Indonesia mencapai 340 juta dengan 180 juta diantaranya termasuk usia produktif 15-24 tahun. Kondisi tersebut lazim disebut sebagaijendela demografi (window ofdemography) yang dapat berdampak kepada salah satu dari dua kemungkinan yakni bonus demografi (demography dividend) atau justru sebagai kutukan demografi (demography diases).

Oleh karena itu, Pemilu 2024 menjadi pintu gerbang awal mula generasi muda ini turut menentukan langkah bangsa. Jangan sampai mereka menjadi apatis atau salah memilih pemimpin yang berakibat pada buruknya kebijakan dan makin menyuburkan krisis multidimensi di bangsa ini.

Sejak bangsa ini merdeka dan mendirikan negara dengan cita-cita luhur untuk mencapai kemerdekaan, bersatu, berdaulat, adil dan makmur masih mengalami naik turun. Bahkan sejak Reformasi 1998 terus mengalami turbulensi hingga mendekati titik kulminasi krisis multidimensi tersebut.

Kemerosotan moral terus terjadi baik di tingkat penyelenggara negara maupun di tingkat rakyat. Hal ini perlu menjadi kajian kritis para generasi muda, khususnya dalam mencermati program setiap kandidat dalam perhelatan Pemilu baik eksekutif maupun legislatif. Firmanzah (2008) menjelaskan ada tiga kategori pemilih pemula di Indonesia. 

Pertama, pemilih yang rasional,yakni pemilih yang benar-benar memilih partai berdasarkan penilaian dan analisis mendalam. Kedua, pemilih kritis emosional, yakni pemilih yang masih idealis dan tidak kenal kompromi. Ketiga, pemilih pemula, yakni pemilih yang baru pertama kali memilih karena usia mereka baru memasuki usia pemilih, biasanya mereka cenderung ‘ikut-ikutan’ atau asal mencoblos berdasarkan kriteria subjektifnya sendiri.

Lembaga penyelenggara Pemilu dan para kandidat tentu berharap pemilih pemula yang berada pada kategori pertama. Maka perlu memperbanyak program yang membuka ruang dialog dengan para pemilih pemula ini. Dengan begitu, mereka dapat mengetahui apa alam pikiran bahkan alam kebatinan bagi para pemilih pemula.

Pentingnya Pendidikan Karakter Untuk Pemilih Pemula

Perdana (2023) dalam risetnya membuktikan bahwa secara signifikan media sosial sangat mempengaruhi perilaku pemilih pemula, dimana preferensi politik pemilih pemula cenderung dipengaruhi oleh faktor penggunaan media sosial seperti Facebook, Instagram, Tiktok, dan Twitter. Sebagai pemilih yang relatif baru dan labil dalam menggunakan hak pilih, perilaku pemilih pemula sangat dipengaruhi oleh berbagai macam pemberitaan yang ada di media sosial tersebut.

Akibat dari tingkat pola pengaruh dari penggunaan media sosial,maka perilaku pemilih pemula pada Pemilihan Umum 2024 diprediksi cenderung meningkat, hal itu terjadi seiring dengan gencarnya sosialisasi Pemilu dan pemberitaan lewat penggunaan kanal media sosial sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan partisipasi pemilih pemula dalam menggunakan hak pilih.

Nilai positif dari penggunaan media sosial bagi pemilih pemula tentu dapat diminimalisirnya angka golput (baca: golongan putih-abstain dalam pemilihan). Namun efek negatifnya, para pemilih pemula sangat rentan dengan informasi-informasi negatif yang digaungkan di media sosial dan berpengaruh pada pola fikir dan tingkah lakunya.

Maka dari itu, sangat perlu digencarkan lagi pendidikan karakter yang masif baik dari tingkat keluarga maupun di lembaga pendidikan formal (sekolah dan kampus), serta di lingkungan masyarakat. Sebelum pemilih pemula ini menerima pendidikan politik, alangkah baiknya jika pendidikan karakter menjadi fondasi awal dalam dirinya terlebih dahulu.

Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005-2025 dalam UU No. 17 Tahun 2007, Nugraheni (2019) menegaskan bahwa prioritas pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Salah satu upaya untuk merealisasikannya adalah dengan cara memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui pendidikan. 

Amran dkk dalam Bety (2022) pun memandang terjadinya degradasi moral dan menurunnya nilai kebanggaan berbangsa dan bernegara sebagai gejala belum efektifnya implementasi pendidikan seperti pada amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: ''Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. 

Artinya proses pendidikan yang ada saat ini baik di institusi formal maupun informal masih belum optimal dalam membentuk karakter peserta didik sebagai manusia Pancasila. Jika ini terus terjadi sampai dengan pemilu 2024, maka dipastikan para pemilih pemula memiliki pondasi yang ‘keropos’ dan rentan terhadap perpecahan sosial akibat berbeda pilihan.

Peran sentral para pemilih pemula ini tidak lantas selesai di “bilik suara”, tetapi mereka juga dituntut untuk proaktif mengawasi jalannya Pemilu agar tetap berlangsung jujur dan adil. Artinya mereka wajib melaporkan kepada penyelenggara Pemilu ketika menemukan adanya dugaan pelanggaran-pelanggaran Pemilu yang berada di daerahnya.

Tak hanya itu, mereka juga dituntut untuk menjadi agen sosial dalam mengontrol jalannya pemerintahan hasil Pemilu. Daya kritisnya perlu dimatangkan sejak dini, hingga akhirnya mereka berkesempatan untuk menjadi kontestan Pemilu di kemudian hari. Hasil dari pendidikan karakter itu akan sangat bermanfaat ketika mereka memegang tampuk kepemimpinan di badan-badan penyelenggara negara.

Dengan demikian miniatur Indonesia Emas tahun 2045 benar-benar ke arah cita-cita luhur Founding Fathers. Terwujudnya cita-cita tersebut, bukan sekadar melihat megahnya infrastruktur di seantero negeri melainkan tingginya karakter kebangsaan serta akhlak mulia bagi seluruh rakyat Indonesia.

Maka sudah sepatutnya pemilu 2024 ini menjadi ajang para pemilih pemula untuk berkreasi menunjukan kiprahnya sebagai generasi emas. Mereka harus mengambil posisi strategis dengan berpartisipasi aktif sebagai pemilih, penyelenggara atau pun pemantau Pemilu, sehingga kelak di tahun 2045 mereka bisa menjadi tulang punggung demokrasi.

Penulis adalah:
*Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan Plumpang Tahun 2023 - Sekarang
*Wakil Sekretaris Umum MD KAHMI Tuban Tahun 2022 - Sekarang